Terry Mart (Fisika UI)
Pengantar:
Siapa yang tidak kenal formula Einstein E = m
c2 atau paradoks si kembar yang mendapati saudara kembarnya sudah
jauh lebih tua setelah ia melakukan perjalanan dengan kecepatan mendekati
kecepatan cahaya? Namun tidak semua orang tahu kalau "keajaiban" tersebut
hanyalah bagian kecil dari teori relativitas Einstein, serta bagaimana
sebenarnya Einstein mendapatkan teori relativitas tersebut.
Pada tanggal 14 Desember 1922 Albert Einstein menyampaikan
kuliah umum di depan mahasiswa Kyoto Imperial University tentang ide-ide yang
melatar-belakangi lahirnya teori relativitas khusus dan umum. Kuliah ini
merupakan bagian dari lawatan Einstein ke Jepang selama 43 hari di penghujung
tahun 1922 bersama istrinya Elsa. Lawatan ini cukup unik, karena inilah
satu-satunya lawatan Eistein ke Asia. Selama kunjungan tersebut, Einstein
memiliki jadwal yang sangat ketat, ia harus memberikan kuliah untuk para
profesional (fisikawan) serta publik umum.
Tahun berikutnya, catatan kuliah ini diterbitkan oleh sebuah
majalah bulanan Jepang yang bernama Kaizo. Prof. Masahiro Morikawa dari
Ochanomizu University menerjemahkan artikel tersebut ke dalam bahasa Inggris
dalam buletin Asosiasi Himpunan Fisikawan Asia Pasifik yang terbit bulan April
lalu. Seperti keyakinan Prof. Morikawa, saya pun sependapat bahwa artikel ini
selayaknya diketahui masyarakat. Satu hal penting yang dapat kita pelajari dari
kuliah ini adalah fakta bahwa sebagai manusia biasa Einstein pernah hampir
putus-asa karena sulitnya problem relativitas. Namun kombinasi antara ketekunan,
kerja keras, kejeniusan, hubungan baik dengan sesama ilmuwan, serta
keberuntungan yang ia miliki, merupakan faktor yang akhirnya menentukan
keberhasilan Einstein melahirkan kedua teori relativitas tersebut. Hal ini tentu
saja patut menjadi renungan bagi para ilmuwan di republik ini.
Berikut adalah terjemahan pidato Einstein tersebut.
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk menceritakan secara lengkap
bagaimana saya mendapatkan teori relativitas. Hal ini disebabkan oleh adanya
beragam kompleksitas yang secara tidak langsung memotivasi pemikiran manusia.
Saya pun tidak ingin menyampaikan secara rinci perkembangan pemikiran saya
berdasarkan makalah-makalah ilmiah saya, namun saya akan secara sederhana
menyampaikan pada anda esensi perkembangan pemikiran tersebut.
Pertamakali saya mendapatkan ide untuk membangun teori
relativitas sekitar 17 tahun lalu (1905). Saya tidak dapat mengatakan secara
eksak darimana ide semacam ini muncul, namun saya yakin ide ini berasal dari
masalah optik pada benda-benda yang bergerak. Cahaya merambat dalam lautan ether
dan bumi bergerak dalam ether yang sama. Oleh karena itu gerakan ether haruslah
dapat diamati dari bumi. Namun saya tidak pernah menemukan satu bukti pengamatan
aliran ether tersebut di dalam literatur fisika. Saya sangat terdorong untuk
membuktikan aliran ether relatif terhadap bumi, dengan kata lain gerakan bumi di
dalam ether. Pada saat itu saya sama sekali tidak meragukan eksistensi ether
serta gerakkan ether tersebut. Sebenarnya saya mengharapkan kemungkinan
pengamatan pada perbedaan antara kecepatan cahaya yang bergerak searah dengan
gerakan bumi dan cahaya yang bergerak berlawanan (dengan bantuan pantulan
cermin). Ide saya dapat direalisasi dengan menggunakan sepasang termokopel untuk
mengukur perbedaan panas atau energi mereka. Ide ini mirip dengan eksperimen
interferensi Albert Michelson, namun saat itu saya tidak begitu familiar dengan
eksperimen Michelson. Saya berkenalan dengan hasil-nihil (null-result)
eksperimen Michelson saat saya masih mahasiswa dan sejak saat itu saya sangat
terobsesi dengan ide saya. Secara intuisi saya merasakan bahwa jika kita
menerima hasil-nihil tersebut maka ia akan mengantarkan kita pada satu
kesimpulan bahwa pandangan kita tentang bumi yang bergerak di dalam ether adalah
salah. Ini adalah langkah pertama yang menarik saya ke arah teori relativitas
khusus. Sejak saat itu saya mulai yakin bahwa jika bumi bergerak mengelilingi
matahari maka gerakannya tidak pernah dapat dideteksi dengan eksperimen yang
menggunakan cahaya.
Pada tahun 1895 saya membaca makalah Hendrik Lorentz yang
mengklaim bahwa ia dapat memecahkan problem elektrodinamika seutuhnya melalui
pendekatan pertama, yaitu suatu pendekatan dimana pangkat dua atau lebih dari
rasio antara kecepatan benda dan kecepatan cahaya diabaikan. Setelah itu saya
mencoba mengembangkan argumen Lorentz pada hasil eksperimen Armand Fizeau dengan
mengasumsikan bahwa persamaan gerak elektron, sebagaimana telah dibuktikan
Lorentz, berlaku dalam sistem koordinat baik yang mengacu pada benda bergerak
maupun pada vakuum. Saya yakin dengan keabsahan elektrodinamika yang disusun
oleh Maxwell dan Lorentz dan saya sangat yakin bahwa mereka dengan tepat
menjelaskan fenomena alam yang sebenarnya. Lebih-lebih pada fakta bahwa
persamaan yang sama berlaku dalam sistem koordinat bergerak serta sistem vakuum,
jelas memperlihatkan sifat invarian (tidak berubah) cahaya. Walau demikian,
kesimpulan ini bertentangan dengan hukum komposisi kecepatan yang dianut saat
itu. Mengapa kedua hukum dasar ini bertentangan satu sama lain? Masalah besar
ini membuat saya berfikir keras. Saya harus menghabiskan setahun penuh dengan
sia-sia dalam mengeksplorasi kesempatan memodifikasi teori Lorentz. Masalah ini
terlihat terlalu berat untuk saya!
Suatu hari, sebuah percakapan dengan teman saya di Bern
membantu saya memecahkan masalah besar ini. Saya mengunjunginya pada hari yang
cerah dan bertanya padanya: "Saat ini saya sedang dihadapkan pada masalah besar
yang saya kira tidak pernah dapat diselesaikan. Sekarang saya ingin membagi
masalah ini dengan anda." Saya menghabiskan pelbagai diskusi dengannya.
Tiba-tiba saya mendapatkan ide yang sangat penting. Esoknya saya katakan
kepadanya : "Terimakasih banyak. Saya telah memecahkan seluruh masalah saya."
Ide utama saya untuk pemecahan masalah ini berkenaan dengan
konsep waktu. Waktu tidak boleh didefinisikan a priori sebagai suatu realitas
absolut. Waktu haruslah bergantung pada kecepatan sinyal. Masalah besar ini
dapat diselesaikan dengan konsep baru tentang waktu.
Hanya dalam lima minggu saya dapat menyelesaikan prinsip
relativitas khusus setelah penemuan tersebut. Saya juga tidak memiliki keraguan
akan keabsahan prinsip ini dari sisi filosopis. Lagipula prinsip ini sesuai
dengan prinsip Mach, paling tidak sebagian jika dibandingkan dengan kesuksesan
teori relativitas umum. Inilah cara saya membangun teori relativitas khusus.
Langkah pertama menuju teori relativitas umum muncul dua tahun
kemudian (1907) dengan cara yang berbeda.
Saya tidak terlalu puas dengan teori relativitas khusus karena
prinsip relativitas hanya terbatas pada gerak relatif dengan kecepatan konstan
namun tidak dapat diaplikasikan pada gerak secara umum. Pada tahun 1907 saya
diminta oleh Johannes Stark untuk menulis ulasan tentang pelbagai hasil
eksperimen dari teori relativitas khusus dalam laporan tahunannya Jahrbuch der
Radioaktivitaet und Elektronik. Ketika diminta untuk menulis artikel ini saya
sadar bahwa teori relativitas khusus dapat diterapkan pada semua fenomena alam
kecuali gravitasi. Saya benar-benar ingin mencari jalan untuk menerapkan teori
ini pada kasus gravitasi. Namun saya tidak dapat menyelesaikan hal ini dengan
mudah. Satu hal yang membuat saya frustrasi adalah fakta bahwa meski teori
relativitas khusus memberikan relasi yang sempurna antara kelembaman dan energi,
sementara relasi antara kelembaman dan berat (inersia dan sistem gravitasi)
tidak tersentuh sama sekali. Saya curiga bahwa masalah ini berada jauh di luar
cakupan teori relativitas khusus.
Suatu hari saya sedang duduk di atas sebuah kursi di Kantor
Paten Swiss di Bern. Inilah saatnya sebuah ide cemerlang melintas di benak saya.
"Seseorang yang jatuh bebas tidak akan mengetahui berat badannya." Ide sederhana
ini memberi saya pemikiran yang mendalam. Emosi liar yang melanda saya saat itu
mendorong saya ke arah teori gravitasi. Saya kembali berfikir, "Seseorang yang
jatuh bebas memiliki percepatan." Pengamatan yang dilakukan oleh orang ini
sebenarnya dilakukan pada sistem yang dipercepat. Saya memutuskan untuk
memperluas prinsip relativitas dengan memasukkan percepatan. Saya juga berharap,
dengan menggeneralisasi teori ini saya akan sekaligus memecahkan masalah
gravitasi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa orang yang jatuh bebas tidak
merasakan berat badannya akibat adanya medan gravitasi lain yang menghilangkan
medan gravitasi bumi. Dengan kata lain, setiap benda yang dipercepat membutuhkan
medan gravitasi baru.
Meski demikian saya tidak dapat memecahkan masalah ini secara
utuh. Delapan tahun saya habiskan untuk menurunkan relasi yang nyata. Sebelum
itu, saya hanya mendapatkan potongan-potongan dasar teori tersebut.
Ernst Mach juga mengklaim prinsip ekivalensi antar
sistem-sistem yang dipercepat. Namun jelas hal ini tidak cocok dengan geometri
biasa. Hal ini disebabkan karena jika sistem-sitem semacam ini diizinkan, maka
geometri Euclidean tidak berlaku di setiap sistem. Menjelaskan hukum fisika
tanpa geometri sama saja dengan menjelaskan suatu pemikiran tanpa kata-kata.
Kita harus mempersiapkan kata-kata tersebut sebelum kita dapat menjelaskan
pemikiran kita. Jadi, apa yang harus saya letakkan sebagai landasan teori saya?
Masalah ini tetap tak terselesaikan hingga tahun 1912. Pada
tahun itu saya menyadari bahwa teori permukaan Karl Friedrich Gauss dapat
menjadi dasar yang baik untuk memecahkan misteri di atas. Bagi saya, koordinat
permukaan Gauss merupakan peralatan yang sangat penting. Namun saya tidak
mengetahui bahwa George Riemann sebelumnya telah mengembangkan dasar-dasar
geometri yang sangat mendalam. Saya hanya ingat teori Gauss yang saya dapat
dalam kuliah dari seorang dosen matematika bernama Carl Friedrich Geiser ketika
saya masih mahasiswa. Jadi saya semakin yakin bahwa sifat-sifat dasar dari
geometri haruslah memiliki arti fisis.
Sekembalinya saya ke Zurich dari Praha saya menemui teman dekat
saya, seorang ahli matematika, Marcel Grossmann. Ia membantu saya mencarikan
referensi-referensi matematika yang agak asing bagi saya ketika saya masih di
kantor paten Swiss di Bern. Inilah untuk pertamakali saya belajar darinya hasil
karya Curbastro Ricci serta makalah-makalah Riemann. Saya tanyakan kepadanya
apakah masalah saya dapat diselesaikan dengan teori Riemann, yaitu apakah
invarian dari elemen garis cukup untuk menentukan seluruh koefisien yang saya
cari. Selanjutnya, saya berkolaborasi dengannya dalam menulis sebuah makalah
pada tahun 1913, meski persamaan gravitasi yang sesungguhnya belum dapat
diturunkan saat itu. Penyelidikan lebih lanjut dengan menggunakan teori Riemann,
sayangnya, menghasilkan banyak kesimpulan yang bertentangan dengan harapan saya.
Dua tahun berikutnya berlalu saat saya masih memutar otak untuk
memecahkan masalah ini. Pada akhirnya saya menemukan satu kesalahan pada
perhitungan saya sebelumnya. Saya kembali mencoba menurunkan persamaan gravitasi
yang benar berdasarkan teori invarian. Setelah dua minggu bekerja, jawaban akhir
muncul di depan saya.
Setelah tahun 1915 saya mulai mengerjakan problem kosmologi.
Riset yang saya lakukan menyangkut geometri dan waktu jagad raya. Riset ini
didasarkan pada pembahasan syarat batas teori relativitas umum dan argumen
kelembaman Mach. Meski saya tidak mengetahui sejauh mana dampak ide Mach pada
substansi relativitas umum dari kelembaman, saya yakin bahwa pemikiran besar ini
merupakan filosopi dasar saya.
Mula-mula saya mencoba membuat syarat batas persamaan gravitasi
menjadi invarian. Belakangan saya bahkan dapat menghilangkan batasan ini dengan
asumsi bahwa jagad raya bersifat tertutup. Dengan demikian saya berhasil
memecahkan masalah kosmologi. Sebagai hasilnya diperoleh bahwa kelembaman muncul
sebagai satu sifat relatif di antara materi dan haruslah lenyap jika tidak ada
benda lain yang berinteraksi dengannya. Saya yakin jika sifat penting ini
membuat teori relativitas umum memuaskan kita bahkan dalam pandangan
epistemologi sekalipun.
Dengan ini saya ingin mengakhiri cerita singkat saya tentang
bagaimana saya membangun teori relativitas. Terimakasih banyak.
Sumber : Kompas (26 Mei 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar