Begitu banyaknya bahaya-bahaya yang disebabkan oleh lisan. Bahkan
ada yang mengatakan bahwa lisan lebih tajam dari sebuah pedang. Pedang hanya
bisa melukai orang secara fisik, tetapi
dengan lisan, bisa melukai hati, jiwa, dan bahkan bisa terjadi dendam dan
pertumpahan darah diantara sesama manusia. Banyak riwayat yang menyatakan
kerugian dari lisan lebih besar daripada perbuatan lainnya.
Kita lihat pejabat penting di negeri ini yang mengumbar janji mereka
hanya untuk sebuah kedudukan dan pangkat duniawi saja. Mereka menjual perkataan
mereka untuk mendapatkan segudang kenikmatan dunia.
Mungkin setelah ini akan dipaparkan tentang bahaya lisan yang harus
kita hindari dari hidup kita.
Bahaya lisan yang jelas akan terjadi ketika kita tdak mau
meninggakannya:
1.)
mengurangi adab
Pada dasarnya orang semakin banyak
menggunakan lisannya hanya untuk yang tidak bermanfaat hanya akan mengurangi
adab mereka. Mereka sudah dilenyapkan
dari rasa Haya’ ( malu ).
Mereka dengan seenak hati melontarkan omong kosong yang tidak jelas
kebenarannya. Mereka hanya berkata-kata tanpa mengandung manfaat dan hikmah
sama sekali.
Berbicara mengenai haya’, dibagi menjadi dua macam. Yaitu
malu naluri (haya’ nafsaniy) dan malu
imani ( haya’ imani).
Malu naluri adalah malu yang
dikaruniakan Allah kepada setiap diri manusia, seperi rasa malu kelihatan
auratnya, dll.
Malu imani adalah rasa malu yang
bisa mencegah seseorang dari perbuatan maksiat karena takut dengan dzat yang
maha pencipa yang selalu mengawasi setiap detik, setiap jengkal waktu yang
terus dilewati.
Orang bijak mengatakan, “ tanda keimanan kepada Allah ada empat.yaiu
Taqwa, punya rasa malu, selalu bersyukur
dan sabar.” .
Semoga kita idak termasuk golongan
yang telah kehilangan rasa malu kita. Semoga Allah tetap menjaga hai-hati kita
unuk senantiasa malu terhadap perbuaan kemaksiatan.
2.)
Turun derajatnya.
Selain itu akibat dari lisan
yang tidak terjaga, seseorang dalam pergaulannya akan turun wibawanya. Bisa
dibayangkan ketika kita hanya tertawa girang melihat orang yang sedang terbelit
kesusahan. Sungguh tidak punya derajat
orang orang seperti itu. Di mata kaum
yang lain, yang masih memiliki hati nurani, orang seperti ini sudah dianggap tidak
ada harganya. Dia lebih baik tidak ada di sekitar mereka daripada setiap hari
hanya kelakar-kelakar tak perlu yang dia keluarkan. Bahkan mungkin keika dia
ditunjuk sebagai pemimpin, dia akan diacuhkan dan tidak akan diperhatikan omong
kosongnya. Ketika dia sedang serius untuk memecahkan suau masalah, bawahannya
hanya menganggap dia sedang bermain-main supaya dilihat bisa bekerja dengan
baik. Bawahannya justru akan mengunjingkan kegiatan-kegiatannya. apa lagi yang
bisa diharapkan dari hidupnya?.
Sungguh orang yang seperti itu biasanya hidupnya tidak akan tenang
sebelum dia melihat orang lain berbuat kesalahan ataupun tertimpa musibah dan
dia baru bisa tertawa sepuasnya setelah
melihat ‘kekonyolan’ yang dilakukan orang lain. Ini sungguh jauh dari
nilai-nilai aqidah islam. Islam mengajarkan
bahwa kita harus saling membantu, ikut merasakan penderitaan orang lain
yang sedang erimpa musibah. Ibarat sebuah kesatuan tubuh yang utuh, ketika salah
satu dari anggota badan kita sakit, maka semua anggota badan yang lain akan
juga merasakan sakitnya.
Dengan jelas diterangkan dalam AlQur’an dalam surat Ali Imran ayat 103 bahwa umat islam
harus bersatu.
“dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka
Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara…..” (Q.S. Ali Imran 103).
Mungkin bagi sebagian orang, dengan kedudukan sebagai direktur,
manager, gubernur, bupati, ataupun jabatan penting yang lain akan menaikkan
derajatnya. Mereka beranggapan semakin tinggi jabatan, semakin tinggi
derajatnya dimata manusia.
Sebagian besar komunitas gila hormat pasti akan mengiyakan pedapat iu. Tetapi apa yang difikirkan
kaum muslim sejati pasti berbeda.
Menurut islam, kondisi seperi itu tidak meninggikan pangkat mereka. Mereka
hanya berlomba-lomba menurunkan derajat mereka dimata Allah sebagaimana
dikatakan dalam Al Qur’an, surat
Al An’aam aya 132. yang artinya :
“dan masing-masing orang
memperoleh derajat-derajat yang seimbang dengan apa yang mereka kerjakan. Dan
Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Ayat diatas menjelaskan dengan gamblang bahwa derajat kita dimata
Allah ditenukan oleh perilaku kita sendiri. Bukan pandangan dari orang lain.
Orang yang senantiasa dekat dengan Allah akan merasa senang ketika mereka
tinggi derajatnya dimata Allah walaupun orang orang disekelilingnya menganggap
dia hina. Namun orang-orang yang ‘hubbud
dunya’ (cinta dunia) merasa derajat manusia disisi manusia yang lain adalah
menunjukkan eksistensinya dalam hidup bermayarakat, berbagsa dan bernegara.
Mereka tidak peduli dengan derajat yang diberikan oleh Tuhan.
Cinta dunia adalah sebuah sifat yang tentu saja akan merugikan kita.
Cinta dunia hanya akan membawa kita menikmati kemenisan-kemanisan fana. Menurut
Rasulullah S.A.W. dalam hadistnya :
“barang siapa yang yang
hatinya telah terlapisi dengan kecintaan dunia, maka ia akan selalu diliputi
tiga hal, yaiu : kesengsaraan yang tiada habisnya; rakus yang tidak
berkesudahan; dan angan-angan yang tiada ujungnya.”(H.R Thabrani)
Salah satu bahaya dari cinta dunia adalah panjang angan-angan.
Mereka menggunakan modal dari Allah berupa waktu yang suatu saat akan habis
untuk mengkhayalkan kenikmatan-kenikmatan dunia. Seketika dia telah mendapatkannya, dia akan
menghayalkan angan-angan dunia yang jauh lebih besar lagi, bahkan mungkin bila
perlu mereka menghayalkan menjadi orang nomor satu bagaimanapun caranya.
Berhubungan dengan panjang angan-angan, allah telah mengecam panjang
angan-angan sebagaimana firman Allah yang artinya :
“ Biarkan mereka (didunia ini)
makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong. Kelak
mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Q.S. Al Hijr 3)
Akibat dari panjang angan-angan
menurut sahabat Ali adalah menyebabkan lupa akhirat. Ini sangat relevan
dengan dengan kondisi saat ini. dimana orang cenderung kepada prinsip
materialistis. Semua harus dengan uang. Kalau istilah anak gaul sekarang, “kalo ga’ ada uang mending ke laut aje…!!!” atau mungkin celotehan “ada uang abang datang, ga’ ada uang abang kutendang”. Prinsip-prinsip
itulah yang sebagian besar diusung oleh para penganut paham materialistis.
Sudah tidak diragukan lagi, mereka akan selalu mengingat dunia dan
melupakan akhirat. Kita ingat cerita tentang salah sau sahabat nabi yang
bernama Sa’labah. Dia lupa akan akhirat ketika Allah memberikan kekayaan
padanya. Paham materialisik telah meracuninya. Bahkan ketika diperintahkan untuk
berzakat, dia menolak dengan alasan dia mencari kekayaan dengan usaha dan jerih
payahnya. Itulah titik kulminasi dari sa’labah yang kemudian dengan izin Allah
dia kembali menuju kemelaratan dunia tetapi dia kaya akan akhirat.
Harus kita hilangkan anggapan bahwa orang yang ingin meraih pangkat zuhud
adalah orangnya harus miskin, tidak boleh kaya, selalu merasakan penderitaan
dunia, dan tidak ingin menikmati dunia.
Padahal, dikalangan kaum muslimin cukup banyak orang yang kaya dunia
dan kaya akhirat. Sebut saja sahabat Ustman bin Affan R.A. beliau menjadi
konglomerat kelas atas, namun dia termasuk orang yang zuhud. Dia gunakan
seluruh hrtanya dijalan Allah. Dia tidak menikmati keduniannya. Dia lebih
memilih akhirat sebagai tempat tujuannya. Para
ahli hikmah menyatakan bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang
meninggalkan dunianya untuk akhiratnya.
Kembali ke persoalan bahaya lisan. Banyak dari kita mungkin belum
menyadari jika kita melakukan kesalahan terhadap orang lain dengan lisan kita,
akan menurunkan derajat kita dimata mereka.
Kita ambil contoh lagi. Orang yang biasanya suka bersilat lidah
dengan orang lain pasti omongannya sedikit demi sedikit tidak akan digubris
oleh orang yang mendengarnya. Mereka akan berpikiran bahwa orang itu hanya
memanaskan kuping mereka dengan
‘jilatan-jilatan’ nya untuk
meraih simpati dari orang lain. Orang yang seperti ini biasanya suka sekali
menyanjung orang didepannya dan merendahkan orang dibelakangnya.
Oleh karena itu mulailah dari saat ini dan sekarang kita hilangkan
sifat-sifat sedemikian mengingat kita
akan diurunkan derajatnya bukan hanya dimata orang lain tetapi juga yang
terpenting adalah kita direndahkan derajatnya oleh Allah.
3.)
mati hatinya
orang yang tidak dapat mengendalikan lisannya juga bisa menyebabkan
hatinya mati. Dia sudah tidak mempunyai
hati lagi. Rasa malu telah sirna dari hatinya. Dan ketika hati sudah mati, maka
segala nasehat hanya dianggap sebuah angin lalu. Sebuah kritikan yang membangun
hanya dikatakan sebagai sebuah wujud keirihatian dari orang
yang mengkritik. Mereka menganggap diri mereka paling benar. Mereka tidak mau
menerima saran saran dari orang lain.
Sungguh celaka orang yang hatinya telah mati. Mereka akan semakin
jauh dari Allah. Rasa dekat dengan Allah sudah tidak lagi terpatri di hati-hati
mereka. Ketika sahabat Ali ra. ditanya, apa yang lebih keras daripada batu?
Beliau menjawab, “hati yang mati lebih keras daripada batu”. Banyak orang yang
turun daya menghafalnya ketika hati
mereka telah mati. Pekerjaan mereka hanya bisa tertawa, tertawa dan tertawa
lagi. Mereka berusaha mencari kehinaan orang lain untuk menjadi bahan lelucon. Ketika
itu, masa depan ( akhirat ) mereka hanya menjadi angan-angan belaka. Bahkan mungkin
mereka sudah tidak memikirkan akhirat mereka lagi. Mereka sudah merasa bahagia
dengan urusan dunia mereka. Mereka sangat terhibur dengan keadaan dunia yang
dijalaninya saat ini. tak ada lagi pemikiran akan dosa dan pertanggung jawaban.
Ini sangat relevan dengan sabda nabi yang intinya menyatakan bahwa orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir akan tidak akan bertuturkata kecuali yang
bermanfaat.
Jadi, ketika orang yang suka mengumbar perkataan sia-sia bahkan
sebuah kebohongan, maka dia dapat dipastikan tidak beriman kepada Allah dan
hari akhir. Orientasi dunia jelas terlihat dalam tingkahlakunya. Mereka tidak
akan mengingat akhiratnya. Mereka hanya percaya dunia dan akhirat menjadi
urusan nanti.
4.)
menambah tabungan dosa.
Segala perbuatan yang menyalahi aturan secara logika akan diberikan
balasannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalamAl Qur’an yang artinya :
“barangsiapa yang mengerjakan
kejahaan sebiji dzarrahpun ,niscaya niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”(
Q.S. Al Zazalah 8 )
Ayat diatas menerangkan pada kita bahwa sekecil apapun
kesalahan yang kita lakukan akan
dihitung. Apalagi sebuah kesalahan yang dapat menimbulkan imbas kepada makhluk
lain dimuka bumi ini.
Ada enam hal yang Allah sembunyikan dalam enam hal yang lain:
a.)
Allah menyembunyikan
keridhaannya daam ketaatan padanya.
b.) Allah menyembunyikan
murka-Nya dalam kemaksiatan seorang hamba-Nya
c.)
Allah menyembunyikan Lailatur
Qadar dalam bulan Ramadhan.
d.)
Allah menyembunyikan para wali
diantara manusia.
e.)
Allah menyembunyikan kematian
dalam umur hamba-Nya.
f.)
Allah menyembunyikan Shalat
yang paling utama dalam shalat 5 waktu.
yang akan kita soroti adalah point nomer dua. Allah menyembunyikan
murka-Nya dalam kemaksiatan seorang hamba-Nya. Ini dimaksudkan agar kita selalu
menjauhi segala kemaksiatan sekecil apapun. Karena mungkin saja murka Allah
berada pada kemaksiatan-kemaksiatan kecil yang kita lakukan.
Ini juga mengingatkan kita bahwa pemberian pahala dan dosa untuk
manusia adalah hak prerogatif Allah. Sehingga kita jangan pernah menilai
seseorang lebih buruk dari orang lain ataupun manusia satu lebih baik dari
manusia yang lain. kita juga tidak boleh memvonis seseorang islam itu kafir dan
pasti masuk neraka serta mendapat siksa yang sangat pedih. Ketahuilah hanya
allah yang Maha tahu dan Maha pengampun.
Kita tidak tahu. Mungkin seseorang ahli maksiat melakukan kesalahan
besar kemudian dia bertobat, menjadikan Allah melenyapkan murka-Nya atas orang
tersebut. bisa jadi juga ketika kita melakukan kesalahan hanya sebesar dzarrah itu menjadikan kita dimurkai
oleh Allah.
Ya, kita hanyalah makhuk yang serba tidak tahu. Bahkan kita tdak
akan pernah bisa melihat kulit kepala kita sendiri tanpa bantuan cermin ataupun
alat bantu yang lain.
5.)
HILANGNYA KEPERCAYAAN
Ada sebuah cerita. Seorang penggembala kambing yang sedang
menggembalakan kambingnya, sedang asyik bermalas-malasan disuatu siang di atas
batu besar. Karena bosan, dia ingin mengerjai orang dikampung tempat ia
menggembalakan kambingnya. Seketika dia berteriak, “tolooo..ng! ada
srigala…!!!!”
Sekonyong-konyong sebagian warga di kampung itu berbondong-bondong
menuju sumber suara. Apa yang terjadi?
Gelak tawa si anak gembala menggema disekitar lapangan tempat sang
kambing merumput. Dengan muka merah padam warga pun pulang kerumah
masing-masing. Warga kampung itu geram karena merasa dikibuli seorang anak
gembala ingusan.
Besok paginya, cuaca cerah seperti biasa. Si anak gembala mulai
menggiring gembalaannya ke tanah lapang untuk merumput. Menjelang siang, dia
mempraktekkan apa yang ia lakukan kemarin.
“Toloooo….ng!! ada srigala…!!”
Warga kampung itu kembali bergegas ke arena dimana suara itu
berasal. Tak lama berselang, tawa riuh seorang anak gembala kembali terdengar
seperi kemarin. Warga tambah marah dengan kejadian itu. Diantara warga sampai
ada yang mengancam si anak gembala itu. Akhrnya keesokan harinya si anak
gembala tidak lagi berbuat demikian karena takut dengan warga kampung itu.
Tiga hari kemudian si anak gembala
yang sedang asyik duduk dibatu biasa, mendadak kaget dan spontan
berteriak. “toloo…ng ada srigala memakan
kambingku!!!!!”
Warga yang mendengar jeritan itu cuma berdiam dengan keadaan. Mereka
tahu bahwa anak itu akan berbohong lagi. Mereka tetap dengan aktivitas mereka.
Sementara itu, si anak gembala hanya bisa menangis ketika satu
persatu kambing tuannya dilalap oleh kawanan srigala.
Dari cerita diatas dapat diketahui bahaya lisan yang tidak digunakan
secara tepat guna hanya akan membawa mudharat yang besar. Kepercayaan yang
sudah runtuh akan susah untuk dibangun kembali. Akan lebih sulit membangun
kepercayaan kembali setelah kepercayaan itu hancur berkeping-keping.
Kita tengok seorang residivis (orang yang pernah dipenjara). Butuh
waktu tahunan untuk membersihkan namanya kembali walaupun dia telah insyaf
setelah ia dijebloskan ke dalam tahanan. Sebagian besar masyarakat merasa masih
takut dengan bekas tahanan karena mereka menganggap penyakit kejahatannya akan
kambuh lagi suatu saat nanti. Ini jelas ada disekitar kita.
Begitu juga pada orang yang suka bermain-main dengan perkataannya.
Warga masyarakat akan malas mendengar celotehannya karena yang dikatakannya
sekedar lelucon tak berbobot, hanya sebuah berita tanpa makna. Suatu saat
ketika informasi penting datang dari mulutnya, orang lain hanya akan menganggap
itu sebuah warta yang tidak perlu didengarkan. Padahal dia bermaksud baik untuk
mengatakan informasi yang benar. .
Dalam suatu rapat dalam menetapkan sesuatu keputusan, pendapatnya
tidak akan digubris. Malah bisa jadi, dia tidak akan pernah diundang untuk
mengikuti rapat ataupun pertemuan-pertemuan lain. Kehadirannya tidak berarti
apa-apa dalam roda kehidupan masyarakat. Ada
aaupun tak ada itu tidak menjadi masalah bagi warga sekitar.
Oleh karena itu, janganlah pernah mau menjadi menjadi orang yang telah kehilangan
kepercayaan dari orang lain. Hidup didunia ini tanpa ada kepercayaan dari orang
lain seperti hidup sendiri. Hidupnya tak dihiraukan oleh warga sekitar.
6.)
MENIMBULKAN PERMUSUHAN
Lima bahaya diatas hanya berlaku bagi orang yang terjangkit penyakit
lisan. Namun untuk bahaya yang ini tertuju pada 2 arah yaitu orang yang
melakukan dan korbannya.
Ghibah merupakan penyakit lisan yang sering melanda manusia. Bahkan
mungkin merupakan salah satu kegiatan sehari-hari manusia. Kita bisa menelaah
bagaimana ketika manusia bergaul pasti sedikit ataupun banyak akan menyerempet
kepada ‘ngrasani’ orang.
Pada saat arisan, memasak, membersihkan rumah, atau bahkan saat
pengajian manusia hampir tak pernah luput dari membicarakan orang lain. Ketika
membicarakan kehebatan atau keunggulan orang lain itu mungkin tak jadi masalah,
tetapi yang menjadi persoalan adalah pembicaraan yang menyebabkan aib orang
lain terbuka. Kekurangan seseorang mengemuka dan menjadi buah bibir masyarakat.
Sebuah hal yang sangat rahasia menjadi rahasia umum dan konsumsi public. Jika
itu terjadi, selanjutnya dapat dipastikan akan terjadi penyaluran kabar berita
yang kemudian ditambah bumbu-bumbu agar terasa lebih ‘sedap’ dan nikmat jika masuk kedalam telinga pendengar. Dengan
demikian, pastilah korban ghibah akan menjadi marah dan selanjutnya jelas akan
menyulut api permusuhan.
Dalam islam sendiri sudah dijelaskan bahwa kita disuruh untuk
bersatu padu dalam ali agama Allah dan tidak boleh tercerai berai.
Dengan adanya permusuhan seperi ini jelas akan merugikan kedua belah
pihak. Bahkan mungkin pihak yang tidak ikut campur akan terkena imbasnya juga.
Yang sebelumnya kedua belah pihak saling mengirimkan makanan ketika sedang
membuat sesuatu, itu tidak akan terjadi lagi.
Satu kerugian kita temukan. Berkurangnya rizki ketika kita sedang mengalami permusuhan dengan orang lain.
Berkurangnya rizki ini bukan hanya rizki berupa uang ataupun makanan, tetapi
juga rizki kasih sayang, perhatian, dan informasi. Yang sebelumnya ketika mau
berangkat kerja kita ditawari naik mobilnya, sekarang tidak lagi. Ketika
ada informasi penting mengenai diri
kita, dia tidak akan sudi menyampaikannya pada kita. Atau mungkin untuk
kalangan mahasiswa yang biasanya melancong ke kota dari kampung yang cukup jauh demi
menuntut ilmu. Ketika ada nilai keluar sementara dirinya ada di kampung, tak
ada lagi yang memberikan informasi nilai. Ketika sakit di kost-an, tak ada lagi
yang mau mengurusi kita. Mengambilkan minum, berbagi keluhan, dan lain-lain. Kita bisa rasakan itu.
Semua itu jelas akan terjadi ketika api permusuhan sudah tersulut
dan menjalar di hati-hati orang sedang marah.
Kerugian lain, hidupnya tidak akan tenang. Dia akan terus menggali
kesalahan-kesalahan yang tentu saja digunakan untuk membalas dan membalas lagi.
Sisa waktu akan dihabiskan untuk terus mengorek aib lawannya. Aib akan dibalas
dengan aib. Seperti itu seterusnya sampai pipa perdamaian dihisap oleh kedua
belah pihak yang berseteru.
Jika aib-aibnya terasa kurang seru dan terkesan biasa saja, maka
yang berkembang adalah pemberitaan yang dilebih-lebihkan. Fenomena ini sering terjadi dalam putaran
zaman dan roda kehidupan ini.
Pihak lain juga bisa terkena akibat permusuhan kita. Bagaimana dia
menjadi tempat curhat kedua belah
pihak tentang kejelekan masing-masing lawannya. Dia layaknya ember yang harus
menadah luapan emosi dan gunjingan orang yang sedang berseteru. Dia seperti
kehabisan waktu dan tenaganya untuk dirinya sendiri. Waktu yang biasanya dia
gunakan untuk tidur malam, kini dengan sangat terpaksa ia gunakan untuk
mendengarkan pertengkaran yang seakan tiada ujungnya. waktu yang biasa
digunakan untuk belajar, hanya menjadi waktu yang terbuang percuma karena suara
ribut menjadi konsumsi sehari hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar